MENENTUKAN
LAJU PERNAFASAN PADA IKAN PATIN
(Pangasius pangasius)
DosenPenanggungjawab:
IndraLesmana,
S. Pi, M. Si
Ani Suryanti, S. Pi, M. Si
RiriEzraneti, S. Pi, M. Si
Oleh:
Suria
M sinaga / 110302025
A/4
LABORATORIUM
FISIOLOGI HEWAN AIR
MANAJEMEN
SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan patin pada ukuran benih dikenal sebagai
ikan hias dan pada ukuran lebih besar ikan ini merupakan ikan konsumsi yang
diminat masyarakat. Permintaan akan ikan ini terus meningkat terutama untuk
daerah-daerah di luar pulau Jawa, sedangkan aktivitas pembenihan ikan ini
banyak dilakukan di pulau Jawa terutama di Bogor. Upaya untuk memasok benih
dari pulau Jawa ke luar pulau Jawa telah sering dilakukan. Namun sejauh ini
tingkat mortalitas ikan yang diangkut masih tinggi dan jumlah ikan yang terbawa
masih sedikit. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat metabolisme dan
aktivitas ikan sehingga kandungan oksigen terlarut cenderung menurun serta
akumulasi amoniak dalam air media pengangkutan (Arfah dan Supriyono, 2002).
Transportasi ikan hidup dapat dilakukan dengan
media air dan media kering. Dengan media air dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu cara terbuka dan cara tertutup. Pada transportasi ikan patin hidup dengan
media air cara terbuka diberikan suplai oksigen secara terus menerus, sedangkan
pada cara tertutup suplai oksigen hanya diberikan secara terbatas (Alam, 2001).
Surfaktan dalam perairan lebih
berpengaruh secara fisiologis daripada kimia terhadap kehidupan organisme
perairan. Surfaktan LAS dapat merusak epithelium insang, merusak organ sensoris
luar yang peka dalam pemilihan makanan, menurunkan kelangsungan hidup dan
pertumbuhan, dan menyebabkan abnormalitas telur ikan patin. Pengaruh fisiologis
tersebut akan menurunkan produksi dalam kegiatan budidaya terutama ikan patin
yang saat ini mempunyai prospek baik. Hal itu dapat dilihat dari kelebihan ikan
patin antara lain ukuran per individu yang besar, struktur daging yang empuk,
tidak berduri, rendah kalori, dan harganya yang mahal (Darmawanti, 2002).
Pernapasan merupakan proses pengambilan
oksigen dan pelepasan karbon dioksida oleh suatu organisme hidup. Untuk dapat
bernapas maka diperlukan organ pernapasan. Pada ikan, proses pernapasan umumnya
dilakukan dengan menggunakan insang (branchia). Insang ikan juga mengalami
perkembangan sebagaimana organ-organ lainnya. Pada stadia larva, insang belum
sempurna dan belum dapat berfungsi. Untuk dapat bernapas, larva ikan biasanya
menggunakan kantung telur (yolk sac) atau pada beberapa ikan tertentu
menggunakan insang luar (Omar, 2011).
1.2
Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari
praktikum ini adalah sebagai berikut:
·
Mahasiswa/i dapat mengetahui pengaruh
detergen terhadap fisiologi ikan patin (Pangasius
pangasius)
·
Mahasiswa/i mampu membedakan ikan yang
telah diberi perlakuan dengan detergen dan ikan control tanpa perlakuan diberi
detergen
·
Mampu mengetahui seberapa besar suplay
oksigen pada ikan patin melalui perlakuan yang telah diberikan.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Respirasi
Hewan yang menyesuaikan diri dengan lingkungan air umumnya bemapas
dengan insang. Ada yang insangnya dilengkapi tutup insang (operkulum),
misalnya ikan bertulang sejati (Osteichthyes), dan ada pula
yang insangnya tidak bertutup insang, misalnya pada ikan bertulang rawan (Chondrichthyes).
Di samping itu, ada pula kelompok ikan paru-paru, yang bernapas dengan pulmosis. Insang ikan
terdiri atas bagian lengkung insang, rigi-rigi dan lembar insang. Lengkung
insang tersusun atas tulang rawan berwarna putih. Pada lengkung insang ini
tumbuh pasangan rigi-rigi yang berguna untuk menyaring air pernafasan yang
melalui insang. Lembaran insang tersusun atas jaringan lunak, berbentuk sisir
dan berwarna merah. Pada lembaran yang kaya kapiler darah inilah pertukaran CO2
dan oksigen berlangsung. Insang ikan yang tersimpan di dalam rongga insang dan
terlindung oleh tutup insang. Mekanisme pemapasan ikan bertulang sejati
meliputi dua tahap, yakni fase inspirasi dan ekspirasi (Atahualpa. 2013).
Ikan adalah hewan
air dan bernapas dengan insang. Setiap ikan mempunyai 4 pasang insang yang
terletak di samping kiri dan kanan kepala. Ikan bertulang keras mempunyai tutup
insang sebagai pelindung, sedang pada ikan bertulang raw an tidak mempunyai
tutup insang. Selama pernapasan berlangsung, tutup insang selalu bergerak
membuka dan menutup. Pada beberapa jenis ikan, ronga insang nya mengadakan
perluasan keatas yang merupakan lipatan-lipatan tak teratur yang disebut
labirin. Labirin ini berfungsi untuk menyimpan udara, sehingga jenis ikan-ikan
tertentu dapat hidup diair yang kekurangan oksigen. Insang memiliki lembaran-lembaran halus yang mengandung
pembuluh-pembuluh darah. Pengikatan oksigen dan pelepasan karbon dioksida akan terjadi
di insang. Oksigen dalam darah diedarkan ke seluruh tubuh oleh nadi. Setelah
darah kehilangan oksigen, maka darah berkumpul lagi di pembuluh balik untuk
kembali ke jantung. Kemudian jantung memompakan darah ke insang lagi
(Anakunhas, 2011).
2.2 Surfaktan Pada Detergen
Deterjen
berasal dari bahasa latin, “detergere” yang berarti membersihkan. Deterjen
dalam arti luas merupakan bahan yang digunakan sebagai pembersih, termasuk
sabun cuci piring alkali dan cairan pembersih. Menurut defenisi yang lebih
spesifik, deterjen merupakan bahan pembersih yang mengandung senayawa
petrokimia atau surfaktan sintetik lainnya. Surfaktan dalam deterjen membantu
proses pemindahan, emulsifikasi, dan suspense dari kotoran zat pembangun. Hal
ini disebabkan karena surfaktan menurunkan tegangan permukaan air. Lapisan
molekul surfaktan pada batas udara-air dapat mencegah difusi oksigen (Darmawanti,
2002).
Deterjen
masa kini biasanya mengandung pemutih, pencerah warna, dan bahan antiredeposisi
(NACM atau sodium carboxmethylcellulose). Pada tahun 1960-an, eutrofikasi
akibat masuknya phosphate dari limbah deterjen ke dalam aier terus berkembang.
Ganggang mati tenggelam ke dasar kolam atau danau dan menghabiskan oksigen di
air. Tingginya pertumbuhan alga menghabiskan oksigen sehingga ikan mati
(Juwitaningsih dan Lis, 2011).
Salah satu bahan kimia pembius yang umum digunakan adalah MS–222.
Beberapa negara telah menggunakan bahan ini, seperti; Indonesia dan Amerika,
Singapura, Norwegia, Jepang, Cina dan India menyatakan bahwa dengan pembiusan
maka konsumsi oksigen ikan dan biota menjadi berkurang, laju produksi
karbondioksida berkurang dan senyawa nitrogen yang diekskresikan ikan ke dalam
lingkungan dapat ditekan. Kondisi ini diharapkan dalam proses pengangkutan
ikan. Respon yang diberikan ikan selama mendapatkan perlakuan pembiusan akan
berbeda bergantung pada tingkat pembiusan yang diberikan. Namun fase yang baik
untuk pengangkutan adalah fase pingsan, dimana reaktivitas ikan terhadap
rangsangan luar tidak ada, kecuali dengan suatu tekanan dan pergerakan
operkulum menurun (Arfah dan Supriyono, 2002).
2.3 Pengaruh Detergen Terhadap Ikan Patin
Saanin mengklasifikasikan ikan patin sebagai berikut:
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub ordo : Siluroidea
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius (Hernowo, 2001).
Menurut Browman dan Kramer (1985), ikan patin tergolong ke dalam
golongan penghisap udara (air breathing fish) karena selain insang ikan ini
dapat memanfaatkan gelembung renangnya (swim bladder) sebagai alat pernafasan
tambahan. Dengan alat ini, ikan mampu melakukan pernafasan melalui udara
langsung, sehingga dapat hidup dalam kandungan oksigen terlarut yang rendah.
Pernafasan ini dilakukan dengan cara mengambil udara ke atas permukaan air
(Miftahudin, 2002).
Konsumsi
oksigen oleh ikan sangat bergantung pada jenis, ukuran, aktivitas ikan, toleransi
terhadap stres, suhu, pH, CO2 dan amoniak. Nugroho (2006) mengemukakan
bahwa oganisme berukuran kecil mengkonsumsi oksigen lebih banyak persatuan
waktu dan bobot ikan daripada yang berukuran besar. Bobot ikan dan suhu air merupakan faktor
penting yang mempengaruhi konsumsi oksigen ikan dalam kaitannya dengan
metabolisme selama transportasi. Ikan yang lebih berat dan yang diangkut
menggunakan air yang lebih hangat memerlukan oksigen yang lebih banyak. Apabila
suhu air meningkat 10°C (misalnya dari 10°C menjadi 20°C), maka konsumsi
oksigen akan meningkat 2 kali lipatnya. Oksigen terlarut (DO) adalah salah satu
parameter kualitas air yang penting. Kekurangan oksigen biasanya merupakan
penyebab utama kematian ikan secara mendadak dan dalam jumlah besar (Ningsih,
2011).
Deterjen dalam bentuk phenol merupakan suatu bahan kimia yang
bersifat toksik ketika terurai dan bahan kimia ini dapat membahayakan ikan.
Salah satunya telah dilakukan penelitian oleh Wilbert (1971) dengan menggunakan
ikan trout dimana terjadi pengurangan epitel insang diiringi hilangnya sel
lender (mukus). Pada konsentrasi yang sama, lamella insang cenderung bersatu.
Semakin meningkat konsentrasi surfaktan maka semakin besar pula kerusakan sel
epitel. Kerusakan organ ikan yang cukup nyata yang disebabkan oleh surfaktan
deterjen adalah kerusakan epitel pernapasan insang ikan (Lisnawati, 2000).
Ikan
dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap adanya
senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu.
Reaksi
ini dapat ditunjukkan dalam percobaan di laboratorim, di mana terjadi
perubahan
aktivitas pernafasan yang besarnya perobahan diukur atas dasar irama
membuka
dan menutupnya rongga “Buccal” dan operkulum. Pengukuran aktivitas pernafasan
merupakan cara yang amat peka untuk mengukur reaksi ikan terhadap kehadiran
senyawa pencemar. Hasil penelitian yang pernah dilakukan memperlihatkan adanya
peningkatan jumlah gerakan operculum “Fingerlink” (Cirrhina Mrigala) yang
terkena deterjen (Chahaya, 2003).
Secara umum, bahan pencemar baik
secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi proses fisiologis dalam
tubuh dan pertumbuhan biota air. Sebelum pertumbuhan, terjadi beberapa proses
yang saling berhubungan yaitu kebiasaan makan, cara memperoleh pakan, proses
pencernaan, proses penyerapan pakan, ekskresi, pengeluaran energi dan perubahan hormone tubuh. Pertumbuhan akan
terjadi jika semua kebutuhan energi untuk proses-proses tersebut telah
terpenuhi. Konsentrasi oksigen terlarut yang sangat rendah dapat menimbulkan
penyakit serius seperti anorexia, hypoxia, gangguan pernafasan, pingsan, bahkan
kematian. Bahan pencemar lebih bersifat toksik pada DO rendah, sehingga akan
meningkatkan volume pernafasan dan jumlah bahan pencemar yang masuk ke dalam
tubuh melalui insang (Darmawanti, 2002).
Menurut
Huet (1971) ikan yang berukuran kecil akan membutuhkan oksigen lebih banyak
daripada ikan yang berukuran besar dengan bobot populasi yang sama. Ikan patin
memiliki alat pernapasan tambahan. Kondisi ini yang kemudian diduga dapat
menyebabkan ikan dapat bertahan hidup hingga kandungan oksigen < 1 ppm.
Keberhasilan ikan dalam menekan aktivitas metabolisme selama perlakuan
menyebabkan penghematan ikan dalam mengkonsumsi oksigen (Arfah dan Supriyono,
2002).
BAB
III
METODOLOGI
3.1 Waktu Dan Tempat
Praktikum
ini dilaksanakan pada tanggal 30 Mei
2013, pada hari selasa jam 13.00-15.00 di Laboratorium MSP Terpadu, Program
Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera
Utara.
3.2
Alat Dan Bahan
Alat-alat
yang digunakan dalam praktikum ini adalah akuarium ukuran 60 cmx30cmx30cm,
timbangan analitik, stopwatch, sendok pengaduk, penggaris, alat bedah ikan, kertas
millimeter yang di laminating, serbet, dan gunting kecil.
Bahan-bahan
yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan patin sebanyak 5 ekor, detergen
easy (40 gr) dengan komposisi surfaktan utama 20 % dan buider 38 %, air
akuarium, dan tissue.
3.3
Prosedur Praktikum
Adapun prosedur dalam melakukan
praktikum ini adalah sebagai berikut:
1.
Diukur panjang dan berat ikan yang
dijadikan sebagai bahan uji
2.
Dipersiapkan empat buah akuarium yang
diberi label A, B, C, dan D (kontrol)
3.
Ditimbang detergen untuk label A 10 gr,
B 20 gr, C 30 gr, dan D sebagai Kontrol tanpa pemberian detergen
4.
Dimasukkan detergen ke dalam akuarium
dan diaduk hingga merata
5.
Lima menit kemudian dimasukkan 4-5 ekor
ke dalam masing-masing akuarium yang bercampur air dan detergen
6.
Dilihat dan dicatat tingkah laku ikan
tersebut, gerakan mulut dan operkulum pada 10 menit pertama, kedua dan ketiga
7.
Untuk melihat laju pernafasan ikan tiap
10 menit dilakukan dengan cara mengangkat ikan tersebut dan dihitung gerakan
mulut dan operkulum per menit dengan menggunakan stopwatch
8. Selesai
pengamatan diwajibkan membersihkan meja dan semua peralatan yang telah digunakan
kemudian dibuat laporan sementara.
BAB
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
4.1.1
Gambar Ikan Patin
Klasifikasi:
Kingdom :
Animalia
Filum :Chordata
Kelas :
Pisces
Ordo :
Ostariophysi
Famili :
Pangasidae
Genus :
Pangasius
Spesies :
Pangasius pangasius
4.1.2
Gambar Organ Dalam Ikan
Organ Dalam Ikan
|
Ikan kontrol
|
Ikan diberi deterjen
|
Hati
|
Warna
kemerah-merahan
|
Warna merah
pucat
|
Empedu
|
Warna kuning
cerah
|
Warna kuning
pucat
|
Insang
|
Warna
kemerah-merahan
|
Warna merah
pucat
|
Jantung
|
Warna merah
keputih-putihan
|
Warna agak
keputihan
|
4.1.3
Pengamatan Bukaan Mulut Dan Operkulum
Ikan patin
|
Waktu
|
Jumlah
|
1
|
10 menit ‘
|
Operkulum : 4
|
Bukaan
mulut : 15
|
||
2
|
10 menit ‘
|
Operkulum
: 27
|
Bukaan
mulut : 26
|
||
3
|
10 menit “
|
Operkulum
: -
|
Bukaan
mulut : -
|
||
4
|
10 menit “
|
Operkulum
: -
|
Bukaan
mulut : -
|
Keterangan
tingkah laku ikan pada 10 menit ‘ :
·
Ikan berenang dengan cepat, mulut dan
operkulum membuka
·
Ikan berenang dengan miring pada menit
ke 5
·
Ikan berhenti berenang pada menit ke 6
·
Ikan muntah dan berdarah pada menit ke
6’ 29’’ dan mati
·
Ikan kedua naik ke permukaan pada menit
ke 10
Keterangan tingkah laku ikan pada 10 menit “:
·
Ikan berenang dan mulut terbuka
·
Ikan naik dan turun
·
Keluar darah dari insang
·
Ikan berenang terbalik
·
Ikan kemudian berlendir dan mati
·
Ikan pada 10 menit “ tidak dapat diamati
laju pernafasannya karena ikan telah mati
4.2
Pembahasan
Berdasarkan
hasil praktikum yang telah dilakukan komposisi detergen easy adalah surfaktan
20 % dan builder 38 %. Hal ini sesuai dengan literatur Darmawanti (2002) yang
menyatakan bahwa deterjen merupakan bahan pembersih yang mengandung senayawa
petrokimia atau surfaktan sintetik lainnya. Surfaktan dalam deterjen membantu
proses pemindahan, emulsifikasi, dan suspense dari kotoran zat pembangun. Hal
ini disebabkan karena surfaktan menurunkan tegangan permukaan air. Lapisan
molekul surfaktan pada batas udara-air dapat mencegah difusi oksigen.
Berdasarkan
hasil praktikum yang telah dilakukan ikan patin (Pangasius pangasius) yang
digunakan sebagai ikan bahan uji memiliki ukuran yang sangat kecil (masih dalam
fase remaja) sehingga membutuhkan suplay oksigen yang sangat banyak. Hal ini
sesuai dengan literatur Arfah dan Supriyono (2002) yang dikutip dari Huet
(1971) yang menyatakan bahwa ikan yang berukuran kecil akan membutuhkan oksigen
lebih banyak daripada ikan yang berukuran besar dengan bobot populasi yang
sama. Ikan patin memiliki alat pernapasan tambahan. Kondisi ini yang kemudian
diduga dapat menyebabkan ikan dapat bertahan hidup hingga kandungan oksigen
< 1 ppm. Keberhasilan ikan dalam menekan aktivitas metabolisme selama
perlakuan menyebabkan penghematan ikan dalam mengkonsumsi oksigen.
Berdasarkan
hasil praktikum diperoleh bahwa ikan pada 10 menit pertama ikan 1 memiliki
operkulum yang membuka sebanyak 4 kali dan bukaan mulut sebanyak 15 kali
sedangkan ikan 2 memiliki operkulum yang membuka sebanyak 27 kali dan bukaan
mulut sebanyak 26 kali. Membuka dan menutupnya operkulum dan mulut ikan yang
terlalu sering dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen dalam air yang telah
dicampur detergen. Hal ini sesuai dengan literatur Chahaya (2003) yang
menyatakan bahwa ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air
maupun terhadap adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi
tertentu. Reaksi ini dapat ditunjukkan dalam percobaan di laboratorim, di mana
terjadi perubahan aktivitas pernafasan yang besarnya perobahan diukur atas dasar
irama membuka dan menutupnya rongga “Buccal” dan operkulum. Pengukuran
aktivitas pernafasan merupakan cara yang amat peka untuk mengukur reaksi ikan
terhadap kehadiran senyawa pencemar. Hasil penelitian yang pernah dilakukan
memperlihatkan adanya peningkatan jumlah gerakan operculum “Fingerlink” (Cirrhina
Mrigala) yang terkena deterjen.
Pada
10 menit kedua ikan patin telah mati dengan keluarnya darah dari insang karena
insang tidak mampu menahan pengaruh dari kandungan surfaktan yang terdapat
dalam detergen. Surfaktan yang ada dalam detergen secara langsung akan merusak
epitel insang sehingga ikan tidak mampu benafas. Hal ini sesuai dengan
literatur Lisnawati (2000) yang menyatakan bahwa pada
konsentrasi yang sama, lamella insang cenderung bersatu. Semakin meningkat
konsentrasi surfaktan maka semakin besar pula kerusakan sel epitel. Kerusakan
organ ikan yang cukup nyata yang disebabkan oleh surfaktan deterjen adalah
kerusakan epitel pernapasan insang ikan.
Berdasarkan
hasil praktikum yang telah dilakukan ikan patin akan naik ke permukaan dan
turun ke lantai akuarium, berenang dengan keadaan miring dan melompat ke udara
untuk mengambil oksigen. Keadaan ini menunjukkan bahwa oksigen terlarut dalam
air adalah rendah pengaruh bahan pencemar atau detergen yang diaduk bersamaan
dalam air. Hal ini sesuai dengan literatur Miftahudin
(2002) yang dikutip dari Browman dan Kramer (1985) yang menyatakan bahwa ikan patin tergolong ke dalam golongan
penghisap udara (air breathing fish) karena selain insang ikan ini dapat
memanfaatkan gelembung renangnya (swim bladder) sebagai alat pernafasan
tambahan. Dengan alat ini, ikan mampu melakukan pernafasan melalui udara
langsung, sehingga dapat hidup dalam kandungan oksigen terlarut yang rendah.
Pernafasan ini dilakukan dengan cara mengambil udara ke atas permukaan air.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan diperoleh
perbedaan warna organ dalam (hati, empedu, insang dan jantung) antara ikan
kontrol dan ikan yang diberi perlakuan dengan pemberian detergen. Perbedaan
warna tersebut menunjukkan bahwa ikan dengan pemberian detergen akan mengalami
gangguan sistem respirasi, dimana suplai oksigen yang dibutuhkan oleh darah
untuk diedarkan oleh pembuluh nadi ke seluruh tubuh tidak mencukupi dan masuknya
bahan detergen yang diserap oleh insang akan merusak organ dalam ikan patin
terutama insang. Hal ini sesuai dengan literatur Darmawanti (2002) yang
menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut yang sangat
rendah dapat menimbulkan penyakit serius seperti anorexia, hypoxia, gangguan
pernafasan, pingsan, bahkan kematian. Bahan pencemar lebih bersifat toksik pada
DO rendah, sehingga akan meningkatkan volume pernafasan dan jumlah bahan
pencemar yang masuk ke dalam tubuh melalui insang.
BAB
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh
dari praktikum yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
·
Ikan patin tergolong ke
dalam golongan penghisap udara (air breathing fish) karena selain insang ikan
ini dapat memanfaatkan gelembung renangnya (swim bladder) sebagai alat
pernafasan tambahan.
·
Surfaktan yang terkandung
dalam detergen easy dapat mencegah difusi oksigen dari udara sehingga oksigen
terlarut dalam air akan semakin rendah.
·
Semakin meningkat
konsentrasi surfaktan maka semakin besar pula kerusakan sel epitel. Kerusakan
organ ikan yang cukup nyata yang disebabkan oleh surfaktan deterjen adalah
kerusakan epitel pernapasan insang ikan.
·
Ikan patin (Pangasius pangasius) yang
digunakan sebagai ikan bahan uji memiliki ukuran yang sangat kecil (masih dalam
fase remaja) sehingga membutuhkan suplay oksigen yang sangat banyak.
·
Ikan pada 10 menit pertama ikan 1
memiliki operkulum yang membuka sebanyak 4 kali dan bukaan mulut sebanyak 15
kali sedangkan ikan 2 memiliki operkulum yang membuka sebanyak 27 kali dan
bukaan mulut sebanyak 26 kali.
·
Pada 10 menit kedua ikan patin telah
mati dengan keluarnya darah dari insang karena insang tidak mampu menahan
pengaruh dari kandungan surfaktan yang terdapat dalam detergen
·
Diperoleh perbedaan warna
organ dalam (hati, empedu, insang dan jantung) antara ikan kontrol dan ikan
yang diberi perlakuan dengan pemberian detergen. Perbedaan warna tersebut
menunjukkan bahwa ikan dengan pemberian detergen akan mengalami gangguan sistem
respirasi.
5.2 Saran
Diharapkan dengan adanya praktikum
ini mahasiswa/i mampu mengamati dan membedakan secara langsung laju pernafasan
pada ikan patin dan ikan lainnya. Selain itu diharapkan ketika praktikum
berlangsung semua praktikan bertanggung jawab terhadap kebersihan alat dan
ruangan laboratorium yang telah digunakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Alam, Y. S. 2001. Pengaruh Kepadatan Dalam Teknologi Penanganan Pra Transportasi Ikan Patin Hidup Pada
Sistem Basah Secara Terbuka. http://reporsitory.ipb.ac.id [5 Mei 2013].
Arfah, H. dan Supriyono. 2002. Penggunaan MS-222 Pada Pengangkutan Benih Ikan Patin. http://journal.ipb.ac.id [5 Mei 2013].
Darmawanti, A. V. S. 2002. Pengaruh Surfaktan Detergen
Linier Alkylbenzene Sulfonate Terhadap Larva
Ikan Patin. http://reporsitory.ipb.ac.id
[5
Mei 2013].
Hernowo.
2001. Pembenihan Patin. Penebar Swadaya, Jakarta.
Juwitaningsih, T. dan Lis, S. J. 2011. Uji Dampak Terhadap Lingkungan Limbah
Detergen Ramah Lingkungan Dengan Bahan Pembangun Zeolit A4 Dari Limbah Padat
Sisa Pembangkaran Batu Bara PLTU. http://digilib.unimed.ac.id [5 Mei 2013].
Lisnawati, L. 2000. Pengaruh Linier Alkylbenzene Sulfonal Terhadap Mortalitas Daya Tetas Dan
Abnormalitas Telur Ikan Patin. http://reporsitory.ipb.ac.id [5 Mei 2013].
Miftahudin, I. 2002. Kelangsungan Hidup Ikan Patin Yang Diangkut Dalam Sistem Terbuka Dengan
Ketinggian Air Yang Berbeda. http://reporsitory.ipb.ac.id [5 Mei 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar